OPPRESMENT ISN'T A FATE

Come on out and keep struggling for the oppressed people

Jumat, 30 November 2007

Richness Vs Poverty

Tanggal 31 Oktober - 02 Nopember 2007, aku menghadiri workshop “Development Efforts for Poverty Alleviation”, di Kapuas Palace Hotel. Itu adalah perhelatan sebuah lembaga donor besar dari Netherlands, Oxfam Novib yang sejak 1993 memberikan dukungan penuh terhadap LBBT ,dan juga telah mendukung banyak lembaga seperti Walhi, PEK-PK, Sawit Watch dan masih banyak lagi tersebar di seluruh dunia dengan konsen isunya masing-masing.
Pertemuan ini istemewa karena membicarakan hal-hal strategis ke depan yang harus dimulai dan dibangun bersama oleh beberapa lembaga yang bekerja di Kalimantan, baik di tingkat Region Kalimantan mapun Nasional. Dimulai dengan sebuah riset yang memuat analisis terhadap kondisi di Kalimantan yang dilakukan oleh Dirk Van Esbroeck (dari South Research), kegiatan ini juga merupakan refleksi dan perumusan kerja-kerja ke depan yang dilakukan.
Membicarakan Kalimantan, maka setiap orang akan teringat dua sisi yang bertolak belakang (kontroversi) dalam konteks kondisi seperti kalimat yang dipilih oleh Dirk dalam judul analisisnya “Kekayaan kami adalah Sumber Utama Kemiskinan Kami – Our Richness is the Major Source of Our Poverty”. Kekayaan Versus Kemiskinan dialami dalam waktu yang bersamaan dan seakan-akan tiada bedanya. Kompleksnya persoalan yang dituai oleh Kalimantan karena kekayaannya telah menjerembabkan rakyatnya bergelimang ‘kekurangan’ bukannya ‘berkelimpahan’ atas sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya. Sebut saja kekayaan alam yang jelas-jelas dimiliki dan dipelihara oleh rakyat Kalimantan. Untuknya mereka harus ‘berebut’ - merebut sesuatu yang sedari awal telah diwariskan oleh nenek-moyang mereka. Tak pelak, hak-hak rakyat atas tanah dan sumber –sumber penghidupan lainnya diabaikan dengan berbagai alat yang setiap saat berubah bentuknya, terkadang menjelma dalam kebijakan yang ‘manis-manis’, lebih ekstrem lagi dalam bentuk kekerasan fisik seperti intimidasi. Konflik horizontal antar komunitaspun sering terjadi, yang akarnya adalah persoalan tanah.
Dalam kerangka program, advokasi hak atas tanah dan sumber penghidupan lainnya di Kalimantan, telah diusung oleh banyak NGO seperti LBBT, PEK-PK, Gemawan, Walhi (daerah dan Nasional), Sawit Watch, eLPaGar, Institit Dayakologi, secretariat SeGeraK dan Save Our Borneo. Workshop ini merupakan salah satu ajang konsolidasi gerakan di tingkat jaringan. “Berjaringan” adalah salah satu modal utama yang memperkuat existensi dan kerja-kerja NGO. Namun, disadari sangat tidak mudah. Banyak sekali NGO dengan focus kerja yang beragam, karenanya menuntut pembagian peran. Dalam pembagian peran, dituntut kemampuan kerja sama dan saling menyumbangkan kapasitas dan kompetensi baik individu maupun lembaga.
Hal menarik dari pertemuan ini adalah berhasil ditemukannya dan dirumuskannya strategi advokasi yang berbeda terhadap “existing oil palm” dan “Expanding oil palm”. Dalam perjalanannya, perbedaan strategi atas 2 hal tersebut sering menimbulkan ‘konflik’ antar NGO yang sebetulnya memiliki tujuan yang sama. Pertemuan ini telah menemukan cara saling mengkoordinasikan dan memahami cakupan kerja dan caranya masing-masing yang akan didetilkan ke dalam pembagian peran dan focus isu serta wilayah. Ini menjadi PR bersama yang terkesan sangat sederhana, namun pada prakteknya lumayan sulit di tengah kesibukan masing-masing. Skenario Building dalam kerangka advokasi bersama sudah pernah dirumuskan dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, dan masih belum terbaca sampai dimana prosesnya sudah berjalan.
Pendekatan program yang ditawarkan oleh Oxfam Novib (direpresentasikan oleh Henk Peters – Program Officer Regional untuk Kedaulatan Pangan dan Pendapatan di Asia Selatan dan Asia Tenggara), menjadi bagian dari PR tersebut untuk kembali dipikirkan bersama.

Kamis, 29 November 2007

Refleksi Individu Proses Visioning

Aku teringat proses visioning lembaga ku beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 28-30 September 2007. Proses itu merefleksikan tidak saja gerakan sosial yang sudah dibangun oleh Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan barat, tetapi sekaligus merefleksikan apa yang sudah aku sumbangkan dalam gerakan sosial. Menjadi bagian dari sebuah gerakan yang dikenal oleh banyak orang. Tidak mudah. Apalagi ternyata ini semua dimulai dengan dasar kesadaran (bisa jadi juga kemarahan terhadapa ketertindasan yang diciptakan kekuatan yang luar biasa) akan ketertindasan yang dialami oleh orang Dayak.

Pengalaman awal yang dialami oleh para pioneer gerakan ini tentu saja tidak sama dengan yang kualami ketika pertama kali bergabung dalam gerakan. Namun, setiap orang dengan pengalaman yang berbeda akan menyumbangkan banyak hal yang berbeda pula dan hendaknya semakin memperkaya esensi dari perjuangan ke arah tujuan yang sama. Di perjalanannya, aku terkadang bertanya, apakah betul tujuan itu sama?. Tidak ada yang bisa menjawabnya selain diriku sendiri. Dan, aku sampai pada beberapa kemungkinan (terlalu dini untuk menyimpulkan). Kemungkinan pertama, tujuannya sama tetapi berbeda individu dan kelompok, berbeda pula caranya. Kemungkinan kedua, tujuannya tidak sama karena setiap individu dan/atau kelompok memiliki dasar/alasan, cara, kepentingan dan harapan yang berbeda pula. Kemungkinan ketiga, tujuannya berbeda tetapi caranya mencapai tujuan berbeda karena kemampuan individu dana/atau kelompok merespon dinamika dan kompleksitas persoalan juga beragam dengan dasar awalnya juga beragam.

Terlepas dari kemungkinan di atas, aku ingin mengungkapkan kekagumanku dan keberuntunganku telah memperoleh ruang besar untuk memahami 'ke-DAyakanku' dan juga mempelajari banyak hal tentang perjuangan identitas. Entah kemanapun tujuannya, ada nilai-nilai pengikat yang menjadikan gerakan ini sangat istimewa. Idealnya, sebuah gerakan memiliki 'sesuatu' yang ingin diperjuangkan bersama-sama, cita-cita bersama.

Kembali ke visioning, ternyata dasar (yang dalam konteks ini disebut cita-cita awal) dari orang-orang seperti Sandra, Masiun, Kanyan, dan Pak Mecer tidak lah muluk-muluk, namun mereka memiliki kekuatan yang dalam hal ini aku sebut keyakinan akan sesuatu dalam memulai gerakan pemberdayaan Pancur Kasih secara umum, dan LBBT khususnya. Theori visioning menawarkan proses penkajian ulang terus menerus dari mimpi atau cita-cita, mencari kebanggaan yang diperkuat terus menerus. Jelas, esensinya bahwa apa yang dilakukan berangkat dari cita-cita besar yang menuntut integritas dan kebersamaan. Setiap orang memiliki cita-cita pribadi, namun dalam konteks gerakan ia juga harus bergabung memperkuat keyakinan akan sesuatu yang dicita-citakan bersama. Ibarat bangunan, tidak gampang membangun fondasi dengan material yang berbeda dengan kekuatan dan kelemahannya masing-masing.

Rabu, 28 November 2007

BARA dan ABU

Api ini sudah begitu menghancurkanku hingga menjadi bara dan abu.
Untung apa buntung?.
Aku tak ingin memikirkannya.
Tapi, dua sisi yang tak kan pernah bersatu, merasuki seluruh kejiwaanku, menyeretku pada jasad hidup selama beberapa tahun.

Oh jiwaku, pulanglah!.
Oh ragaku, kembalilah!.
Aku butuh sebuah tubuh, di dalamnya ada jiwa dan raga pencinta yang kuharap bisa temukan aku, membawaku pada keutuhan.

Bukan lagi bara dan abu.
Aku bahkan ingin kauhembuskan nafas cintamu untuk menghidupkanku.
Sentuhan birahimu memanusiakanku, kembali pada titik awal kesucianku pada hidup.

Ach, aku mengais seperti anjing lapar di rumah tuan yang keras kepala.
Ya, keras kepala pada dunia, telah membiarkanku hidup dengan makan dari piringnya dan minum dari cawannya.
Aku belajar menangis, marah dan memberontak pada tuanku sendiri.
Tapi, ia tak marah.
Bahkan, ia mengangkatku setinggi bidadari di langit.

Aku tak ingin jadi bidadari.
Aku tak ingin kau angkat ke langit.
Jadikan aku manusia kembali.
Telah kupelajari sudut kemanusiwianku, dan kuminta jadikan aku manusia yang punya hati, rasa dan pikiran.
Dengan hatiku, aku akan menyimpan cinta.
Dengan rasa, aku bisa menikmati cinta.
Dengan pikiran, aku hanya ingin mengingat tiap detik kebangkitanku oleh cintamu.

Masa itu telah lewat milyaran detik dan menit.
Hari ini, aku sadar kemanusiawianku diuji.
Telah lama tuanku pergi.
Aku tak lagi mengais makanan pada piringnya dan minum dari cawannya.
Aku terpelajar yang menemukan arti pengalaman pahit pada tiap jatuhku.
Seberapapun perihnya, tak terasakan lagi kala aku melihat jelas tatapan cinta.
Ada Tuhan, ada sahabat, ada kekasih dan ada saudara pada tiap rengkuhan, tatapan dan marahmu.

Terima kasih Tuhan, sahabat dan saudaraku.
Pulanglah untukku, dan kita berjalan tanpa memberi sedikitpun kesenangan pada setan jalanan.

(Juni 2005)

Selasa, 27 November 2007

Pilkada Damai: "Jempol" untuk Rakyat Kalbar

Hari ini adalah hari penetapan pemenang pilkada yang pada akhirnya menghantarkan pasangan candidat dengan julukan C2 (Ce Kuadrat), yakni Cornelis dan Cristinady Sanjaya sebagai duet 'Gubernur Kalbar' yang baru. Dengan akumulasi suara 930.679 (43,67%) versi KPUD Kalbar, kedua pasangan ini menuai kata "Selamat" dari para pendukungnya. Harian Lokal AP Post menuliskan bahwa pasangan ini menang telak di 8 Kabupaten/Kota, mengungguli 3 pasangan lainnya: Usman Ja'far dan L.H. Kadir, Oesman Sapta Oedang dan Lyong dan Akil Mochtar dan A.R. Mecer.

Pilkada kali ini merupakan kali pertama pesta demokrasi rakyat Kalbar untuk memberikan suara secara langsung. Proses ini diwarnai berbagai macam isu sentimen ras, suku dan agama. Namun pada akhirnya, sampai pada hari terakhir penghitungan suara bahkan sampai pada hari penetapan Gubernur terpilih, kondisi umum Kalbar 'aman terkendali'.

Membaca keseluruhan rangkai proses 'pesta rakyat' Kalbar ini, tak muluk jika rakyatnya harus diberikan penghargaan. Sudah lama Kalbar menjadi pusat perhatian dunia karena rentan terjadi konflik terutama yang berbau etnis. Sayangnya, yang kerap menuai ucapan selamat hanya kandidat yang mnejadi pemenang. Budaya memberikan selamat, sekedar penghargaan yang sangat sederhana, jarang sekali ditujukan kepada masyarakat yang sesungguhnya berperan besar.

Tradisi 'demokrasi' sudah mulai dibangun di tingkat rakyat Kalbar, esensinya bahwa perbedaan tidak harus menciptakan 'chaos'. Konflik memang tidak bisa dihindari. Perbedaan sekecil apapun sudah menjadi tanda konflik, apalagi di tingkat masyarakat yang beragam atau heterogen. Pertanyaannya adalah, sudahkah sikap membangun budaya 'demokrasi damai' juga dipelihara oleh para politikus atau altivis partai. Tampaknya, sikap 'dewasa' rakyat Kalbar dalam menghadapi Pilkada langsung perdana harus menjadi bahan refleksi bagaimana menciptakan budaya demokrasi di dalam partai.