OPPRESMENT ISN'T A FATE

Come on out and keep struggling for the oppressed people

Sabtu, 01 Desember 2007

Pertambangan sebagai Bagian dari Konflik Tanah dan Sumber Penghidupan Lainnya

1. Kasus-kasus pertambangan Besar di Indonesia

Kasus pencemaran akibat pertambangan menjadi trend beberapa tahun terakhir di Indonesia. Masih nyaris terdengar gaung protes perempuan dan anak di Kalimantan Timur yang biasanya mengusahakan emas secara tradisional, kemudian digusur oleh PT. KEM dengan dampak kerusakan lingkungan yang parah. Masih terbayang tandusnya bumi kaya Papua oleh gerusan raksasa bernama PT. Free Port yang menawarkan surga dunia dan lembah tangis rakyat kecil yang kehilangan tanahnya. Jeda beberapa saat, sambil terus terdengar teriakan menuntut kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), misalnya kekerasan terhadap perempuan di areal pertambangan, kita dikejutkan dengan kasus Buyat, yang oleh beberapa kalangan disebut cerminan awal tragedi Minamata di Sulawesi Utara oleh PT. Newmount.

Contoh-contoh di atas merupakan topik utama yang selalu menjadi ‘Hight-lights’ dalam setiap program kampanye para pemerhati lingkungan serta pembicaraan di berbagai media sejak tahun 1998-2001. Ternyata, sebagian besar rakyat Indonesia harus meratapi kekayaan akan sumber daya energi, mineral dan bahan galian. Konflik-konflik tanah dan kekayaan alam lainnya menjadi meningkat yang dibarengi oleh gerakan ‘klaim’ masyarakat lokal atas hilangnya tanah, kerusakan lingkungan, kehilangan sumber pencaharian dan perlakuan yang tidak adil dalam pekerjaan.

Bicara tentang konflik tanah dan kekayaan alam lainnya terkait dengan kasus pertambangan, mungkin tidak berlebihan jika kita mencoba melihat sejuah mana kebijakan pertambanan di Indonesia memiliki andil dalam melanggengkan konflik tersebut. Mengapa konflik pertambangan tidak pernah terselesaikan, dan masyarakat tidak pernah bisa didengar tuntutannya atas nama apapun.

2. Andil Kebijakan melanggengkan Konflik Pertambangan di Kalimantan Barat

Pertambangan merupakan sektor yang menjamin pertumbuhan ekonomi sangat cepat, terutama emas. Ini sangat dimaklumi karena logam mulia ini memiliki nilai yang sangat tinggi. Terlepas dari pengusahaan emas besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahann besar asing yang memperoleh legitimasi pemerintah melalui hak kelola, pengusahaan emas besar-besaran yang dilakukan oleh rakyatpun sangat marak, terutama yang dilakukan di atas sungai. Ini dilakukan dengan system mengeruk pasir yang bercampur emas dari dasar sungai untuk kemudian emasnya ‘diikat’ dengan merkuri.

Praktek-praktek di atas terjadi begitu saja seakan-akan saling berlomba. Namun, seiring dengan itu pula, produk-produk hukum terkait dengan pertambanganpun sangat sulit menjadi ‘alat’ yang mampu menjadi perwujudan tanggung jawab negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan menjamin/memenuhi (to fullfill) atas penikmatan hak-hak oleh rakyat. Justeru, telah terjadi ketimpangan penguasaan atas tanah dan kekayaan alam lainnya. Ketimpangan ini ditandai dengan meluasnya konflik yang tidak saja menghadapkan rakyat dengan pemerintah (melalui kebijakan eksploitasinya) dan perusahaan-perusahaan besar pemegang ijin. Lebih jauh, konflik antar komunitas (horizontal) juga semakin terpelihara dengan didukung oleh paradigma otonomi daerah sebagaib legitimasi pemilik modal dan siapa saja yang memiliki saku tebal bermain sebagai aktor utama di arena ini. Hak atas lingkungan yang harus dilihat utuh dengan melihat keterkaitannya dengan hak-hak lainnya seperti hak atas air bersih, hak atas kesehatan dan hak atas tanah menjadi di awing-awang semata.

Proses-proses perubahan hukum baik pada tingkat pusat (nasional) maupun daerah (lokal) belum menunjukan reformasi yang sesungguhnya dalam sektor pertambangan. Di Kalimantan Barat, pertambangan emas terapung di atas sungai menjadi semakiin marak. Beberapa pihak menyebutnya dengan Pertambangan Emas Skala Kecil, Pertambangan Emas Tanpa Ijin atau pertambangan emas liar dan ‘Jek’oleh rakyat.

Usaha-usaha advokasi konflik di sector pertambangan juga semakin marak dilakukan oleh aktivis lingkungan. Namun demikian, ini dirasakan sulit karena harus menghadapkan masyarakat dengan masyarakat, Ini diungkapkan oleh salah seorang aktivis yang pernah bergabung dengan Jaringan Advokasi Tambang Adat di Pontianak. Berangkat dari kasus-kasus pertambangan besar akhir-akhir ini, banyak orang memang seolah-olah tidak begitu tertarik membicarakan pertambangan emas skala kecil. Padahal, sejak tahun 1998, pertambangan emas skala kecil oleh rakyat selama ini menjadi pemicu trjadinya konflik horizontal. Sebut saja konflik horizontal orang Punan Uheng Kereho dengan Penambang Emas di DAS Kapuas, yang memuncak pada tahun 2002 dan berakhir denan aksi pengusrian.

Dalam hukum nasional, pertambangan emas rakyat tidak diatur. Undang-undang Pokok Pertambangan No. 11 tahun 1967 sendiri mengacu kepada Undang-undang 1945, Pasal 33, ayat 3 yang menyatakan bahwa “bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara”. Pasal ini jelas mempertegas Hak Menguasai Negara (HMN) terhadap segala jenis bahan galian,termasuk emas. Bahkan, pengaturan tentang hak-hak adat dan pengelolaan lingkiungan tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Undang-undang (Lihat pasal 1 dari UU No. 11/1967 yang menyatakan bahwa ‘Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional Bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”).

Absolutisme negara masih kental dalam produk kebijakan dan Undang-undang pertambangan. Pada tingkat daerah sendiri, ini tidak menjadi perhatian serius karena pengaturan pertambangan di tingkat daerah mengacu kepada Surat Keputusan Menteri. Pada pasal 4 dari UU No. 11/1967 menyatakan bahwa penguasaan bahan galian adalah oleh negara dan pelaksanaannya diserahakan kepada Menteri melalui Surat Keputusan dan pemerintah daerah tingkat I. Bagaimana dengan pengembangan masyarakat, pengelolaan lingkungan dan bahkan pengakuan tentang aturan lokal tentang hak-hak adat tidak ada termuat secara eksplisit. Undang-undang ini justeru menawarkan (memberi ruang) beberapa bentuk perijinan pertambangan umum seperti Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan (PKP), Pertambangan Batubara, Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD) dan Surat Ijin Pertambangan Rakyat (SIPR). Inilah dilematis dan jalan buntu yang tergambar dalam melakukan advokasi hak dan kebijakan di sector pertambangan.

(Tulisan tahun 2002, diperbaharui 30 Nopember 2007)

Tidak ada komentar: